Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Senin, 02 Januari 2012

Metode Dakwah dalam Al-Qur’an

 Metode al-hikmah Kata al-hikmah terulang sebanyak 210 kali dalam al-Qur’an. Secara etimologis, kata ini berarti kebijaksanaan, bagusnya pendapat atau pikiran, ilmu, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, pepatah dan juga berarti al-Qur’an al-Karim. Hikmah juga diartikan al-Ilah, seperti dalam kalimat hikmah al-tasyri’ atau ma hikmah zalika dan diartikan juga al-kalam atau ungkapan singkat yang padat isinya. Makna al-hikmah yang tersebar dalam al-Qur’an di 20 tempat tersebut, secara ringkas, mengandung tiga pengertian. Pertama, al-hikmah dalam arti “penelitian terhadap segala sesuatu secara cermat dan mendalam dengan menggunakan akal dan penalaran”. Kedua, al-hikmah yang bermakna “memahami rahasia-rahasia hukum dan maksud-maksudnya”. Ketiga, al-hikmah yang berarti “kenabian atau nubuwwah”. Adapun kata al-hikmah dalam ayat ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ menurut al-Maraghi (w. 1945), berarti perkataan yang jelas disertai dalil atau argumen yang dapat memperjelas kebenaran dan menghilangkan keraguan. Sedang Muhammad Abduh (w. 1905) mengartikan al-hikmah sebagai ilmu yang sahih yang mampu membangkitkan kemauan untuk melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat dan kemampuan mengetahui rahasia dan faedah setiap sesuatu. Dalam Tafsir Departemen Agama disebutkan bahwa al-hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil. Dalam Tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Dia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan atau kekeliruan. Hikmah juga berarti sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemashlahatan dan kemudahan yang besar atau yang lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau yang lebih besar. Hanya saja, menurut Quraish, hikmah sebagai metode dakwah lebih sesuai untuk cendekiawan yang berpengetahuan tinggi. Sementara itu Sayyid Qutb berpendapat yang dimaksud dengan hikmah adalah Melihat situasi dan kondisi obyek dakwah. Memperhatikan kadar materi dakwah yang disampaikan kepada mereka, sehingga mereka tidak merasa terbebani terhadap perintah agama (materi dakwah) tersebut, karena belum siap mental untuk menerimanya. Memperhatikan metode penyampaian dakwah dengan bermacam-macam metode yang mampu menggugah perasaan, tidak memancing kemarahan, penolakan, kecemburuan dan terkesan berlebih-lebihan, sehingga tidak mengandung hikmah di dalamnya. Dalam pendapat Hamka, kata hikmah itu kadang-kadang diartikan oleh beberapa orang sebagai filsafat. Menurutnya, hikmah adalah inti yang lebih halus dari filsafat. Filsafat hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang telah terlatih pikiran dan logikanya, tetapi hikmah dapat dipahami oleh orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar. Kebijaksanaan itu bukan saja ucapan, melainkan juga tindakan dan sikap hidup. Kadang-kadang ‘diam’ lebih berhikmat daripada ‘berbicara’. Dengan demikan, ungkapan bi al-hikmah ini berlaku bagi seluruh manusia sesuai dengan perkembangan akal, pikiran dan budayanya, yang dapat diterima oleh orang yang berpikir sederhana serta dapat menjangkau orang yang lebih tinggi pengetahuannya. Sebab, yang dipanggil adalah pikiran, perasaan dan kemauan. Dengan begitu, dipahami bahwa al-hikmah berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya dan pada tujuan yang dkehendaki dengan cara yang mudah dan bijaksana.  Metode al-Maw’izah al-hasanah Metode dakwah kedua yang terkandung dalam QS. Al-Nahl (16) ayat 125 adalah metode al-maw’izat al-hasanah. Maw’izat dari kata وعظ yang berarti nasehat. Juga berarti menasehati dan mengingatkan akibat suatu perbuatan, menyuruh untuk mentaati dan memberi wasiat agar taat. Kata maw’izat disebut dalam al-Qur’an sebanyak 9 kali. Kata ini berarti nasehat yang memiliki ciri khusus, karena mengandung al-haq (kebenaran), dan keterpaduan antara akidah dan akhlaq serta mengandung nilai-nilai keuniversalan. Kata al-hasanah lawan dari sayyi’ah, maka dapat dipahami bahwa maw’izah dapat berupa kebaikan dan dapat juga berupa keburukan. Metode dakwah berbentuk nasehat ini ditemukan dalam al-Qur’an dengan memakai kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide-ide yang dikehendakinya, seperti nasehat Luqman al-Hakim kepada anaknya. Tetapi, nasehat al-Qur’an itu menurut Quraish Shihab, tidak banyak manfaatnya jika tidak dibarengi dengan teladan dari penasehat itu sendiri. Dalam hal ini, Rasulullah saw. yang patut dijadikan panutan, karena pada diri beliau telah terkumpul segala macam keistimewaan sehingga orang-orang yang mendengar ajarannya dan sekaligus melihat penjelmaan ajaran itu pada diri beliau sehingga akhirnya terdorong untuk meyakini ajaran itu dan mencontoh pelaksanaannya. Maw’izah disifati dengan hasanah (yang baik), menurut Quraish, karena nasehat itu ada yang baik dan ada yang buruk. Nasehat dikatakan buruk dapat disebabkan karena isinya memang buruk, di samping itu, ia juga dipandang buruk manakala disampaikan oleh orang yang tidak dapat diteladani. Metode dakwah al-maw’izah al-hasanah merupakan cara berdakwah yang disenangi; mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjerakan mereka; memudahkan dan tidak menyulitkan. Singkatnya, ia adalah suatu metode yang mengesankan obyek dakwah bahwa peranan juru dakwah adalah sebagai teman dekat yang menyayanginya, dan yang mencari segala hal yang bermanfaat baginya dan membahagiakannya. Al-maw’izah al-hasanah adalah sesuatu yang dapat masuk ke dalam kalbu dengan penuh kelembutan; tidak berupa larangan terhadap sesuatu yang tidak harus dilarang; tidak menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan. Sebab, kelemahlembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar. Seorang da’i selain memberi nasehat kepada orang lain, juga kepada diri dan keluarga sendiri, bahkan harus lebih dahulu menasehati diri dan keluarganya, baru orang lain. Nasehat itu harus pula dibarengi dengan contoh kongkrit dengan maksud untuk ditiru oleh umat yang dinasehati, sebagaimana yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. seperti pelaksanaan shalat dan sebagainya. Selain itu, dipahami pula bahwa dakwah yang disampaikan itu tidak hanya teori, tetapi juga praktek nyata yang dilakukan oleh da’i itu sendiri.  Metode al-Mujàdalah Al-Mujàdalah terambil dari kata جدل, yang bermakna diskusi atau perdebatan. Kata jadal (diskusi) terulang sebanyak 29 kali dengan berbagai bentuknya di beberapa tempat dalam al-Qur’an. Dari kata-kata itu, yang menunjuk kepada arti diskusi mempunyai tiga obyek, yaitu: membantah karena: (1) menyembunyikan kebenaran, (2) mempunyai ilmu atau ahli kitab, (3) kepentingan pribadi di dunia. Dari berbagai macam obyek dakwah dalam berdiskusi tersebut, akan dititikberatkan pada obyek yang mempunyai ilmu. Berdiskusi dengan obyek semacam ini membutuhkan pemikiran yang tinggi dan wawasan keilmuan yang cukup. Sebab, al-Qur’an menyuruh manusia dengan istilah ahsan (dengan cara yang terbaik). Jidal disampaikan dengan ahsan (yang terbaik) menandakan jidal mempunyai tiga macam bentuk, ada yang baik, yang terbaik dan yang buruk. Al-Maraghi mengartikan kalimat ‘wa jadilhum bi allatiy hiya ahsan’ dengan berdialog dan berdiskusi agar mereka patuh dan tunduk. Sedangkan Sayyid Qutb mengartikannya dengan: ‘berdialog dan berdiskusi bukan untuk mencari kemenangan, akan tetapi agar patuh dan tunduk terhadap agama untuk mencapai kebenaran. Diskusi atau perdebatan tidak boleh dilakukan dengan sikap emosional. Sebab, hal itu tidak akan mendekatkan orang kepada Islam, bahkan bisa terjadi sebaliknya. Karena itu, dalam QS. al-Ankabut (29): dijelaskan tentang cara menghadapi orang yang tidak mau menerima kebenaran. Di dalam ayat ini, diberikan tuntunan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan pengikutnya, bahwa jika terpaksa bertukar pikiran (berdebat atau berdiskusi) dengan Ahl al-Kitab, adakanlah dengan cara yang paling baik, yaitu dengan pertimbangan akal yang murni. Jika terjadi perbedaan pendapat, seorang da’i tidak boleh emosional. Sayyid Qutb memberikan penjelasan tentang metode dakwah ini; dakwah dengan al-mujàdalah bi allatiy hiya ahsan ialah dakwah yang tidak mengandung unsur pertikaian, kelicikan dan kejelekan, sehingga mendatangkan ketenangan dan kelegaan bagi juru dakwah.Tujuan perdebatan bukanlah mencapai kemenangan, tetapi penerimaan dan penyampaian kepada kebenaran. Jiwa manusia itu mengandung unsur keangkuhan, dan itu tidak dapat ditundukkan dengan pandangan yang saling menolak, kecuali dengan cara yang halus sehingga tidak ada yang merasa kalah. Dalam diri manusia bercampur antara pendapat dan harga diri, maka jangan ada maksud untuk tidak mengakui pendapat, kehebatan dan kehormatan mereka. Perdebatan yang baik adalah perdebatan yang dapat meredam keangkuhan ini; dan pihak yang berdebat merasa bahwa harga diri dan kehormatan mereka tidak tersinggung. Sesungguhnya juru dakwah tidaklah bermaksud lain, kecuali mengungkapkan inti kebenaran dan menunjukkan jalan ke arah itu, yakni di jalan Allah, bukan di jalan kemenangan suatu pendapat dan kekalahan pendapat yang lain. Dalam melaksanakan dakwah dengan model diskusi ini, seorang da’i, selain harus menguasai ajaran Islam dengan baik juga harus mampu menahan diri dari sikap emosional dalam mengemukakan argumennya. Dia tidak boleh menyinggung perasaan dan keyakinan orang lain, sebab akan merugikan da’i, sehingga usaha dakwah dapat mengalami kegagalan. Yang paling baik ialah bahwa seorang da’i harus mampu bersikap lemah lembut dan menghargai pendapat orang lain diskusi sehingga tercipta suasana yang kondusif di medan diskusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar